Tuesday, November 29, 2016

5 Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi di 2014

5 Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi di 2014


1.      Gubernur Riau, Annas Maamun
Annas terjaring 
operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 25 September 2014. Anas ditangkap bersama delapan orang lainnya di sebuah rumah di kawasan Perumahan Citra Grand Cibubur. Setelah pemeriksaan intensif, Annas dan seorang dosen Universitas Riau bernama Gulat Medali Emas Manurung ditetapkan sebagai tersangka.

Annas diduga menerima suap Rp2 miliar terkait usulan perubahan status perkebunan sawit milik Gulat dan teman-temannya di Kuantan Singingi dari kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan. Saat ini, baru perkara Gulat yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Perkara Annas masih dalam tahap penyidikan.

2.      Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah
Setelah terjerat dalam kasus penyuapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar, pada 6 Januari 2014, 
Ratu Atut kembali ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) di Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun anggaran 2011-2013.

Atut ditetapkan sebagai tersangka bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Selain diduga mengatur proyek pengadaan Alkes di Banten, Atut diduga melakukan pemerasan. Sementara, Wawan selaku bos PT Bali Pasific Pragama diduga melakukan penggelembungan harga.

3.      Wali Kota Palembang, Romi Herton
Perkara Romi Herton merupakan pengembangan dari kasus suap pengurusan sengketa Pilkada di MK. Pasca vonis Akil, KPK mulai menetapkan sejumlah kepala daerah sebagai tersangka. Salah satunya adalah Romi. Namun, tidak hanya Romi, KPK juga menetapakan istri Romi, Masyito sebagai tersangka.

Selain itu, Romi dan Masyito diduga memberikan keterangan bohong di persidangan. Pasalnya, saat menjadi saksi dalam sidang perkara Akil, Romi dan Masyito mengaku tidak pernah mengenal Muhtar Ependy, pria yang disebut dekat dengan Akil. Padahal, Masyito pernah menyerahkan Rp14,145 miliar dan AS$316,7 ribu kepada Muhtar.

Alhasil, Romi dan Masyito didakwa penuntut umum KPK dengan pasal penyuapan dan pemberian keterangan bohong. Perkara keduanya hingga kini masih diperiksa di Pengadilan Tipikor Jakarta. Romi dan Masyito mengaku alasan mereka berbohong dikarenakan permintaan Muhtar.

4.      Bupati Tapanuli Tengah, Bonaran Situmeang
Seorang lagi, Bupati yang 
ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan sengketa Pilkada di MK adalah Bonaran. Mantan pengacara terpidana korupsi Anggodo Widjojo ini diduga memberikan uang sejumlah Rp2 miliar kepada Akil untuk pengusuran sengketa Pilkada Tapanuli Tengah di MK.

Perbuatan Bonaran dianggap melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor. Walau Bonaran kerap membantah telah memberikan suap, sejumlah saksi mengakui Bonaran memberikan uang kepada Akil. Uang itu dikirimkan saksi ke rekening  tabungan  atas nama  CV  Ratu Samagat milik istri Akil.

5.      Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin
Di akhir masa jabatan Ilham sebagai Wali Kota Makassar, pada 7 Mei 2014, KPK mengumumkan penetapan Ilham sebagai tersangka. Ilham diduga melakukan korupsi dalam Kerja Sama Rehabilitasi Kelola dan Transfer untuk Instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar tahun anggaran 2006-2012.

Politisi Partai Demokrat ini ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur Utama PT Traya Tirta Makassar Hengky Widjaja. Keduanya diduga memperkaya diri sendiri, orang lain, korporasi secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya. Akibat perbuatan tersebut, kerugian negara ditaksir mencapai Rp38,1 miliar.

Nama Ilham sendiri sempat ikut terseret dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Ilham yang kala itu menjadi saksi dalam perkara Luthfi mengaku menyetorkan 
Rp8 miliar untuk mendapatkan “restu” PKS ketika mencalonkan diri sebagai Wali Kota Makassar.


Tuesday, November 22, 2016

Korupsi Proyek Pengadaan Al Quran Kemenag


September 2013 lalu, KPK memeriksa Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama, Ahmad Jauhari. Jauhari diperiksa terkait posisinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Al Quran dan laboratorium periode 2011-2013 di Kementerian Agama.
KPK menetapkan Jauhari sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, namun justru merugikan keuangan Negara yang melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
Penetapan Jauhari sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan kasus dugaan penerimaan suap terkait kepengurusan anggaran proyek Al Quran dan laboratorium Kementerian Agama (Kemenag) yang telah lebih dulu menjerat anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Zulkarnaen Djabar berserta putranya, Dendy Prasetya.
Zulkarnen Djabar kemudian divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan, sementara putranya, Dendy Prasetya, divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan. Sementara itu, April lalu, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis delapan tahun penjara bagi Ahmad Jauhari, serta kewajiban membayar denda Rp200 juta, subsider enam bulan kurungan penjara.
Kemudian, ia juga harus membayar uang ganti rugi kepada negara sebesar Rp100 juta dan USD15 ribu namun dikurangkan lantaran sudah mengembalikannya ke KPK. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK selama 13 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan, serta dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp100 juta dan USD15 ribu. Usai vonis tersebut, Jauhari sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, namun ditolak. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bahkan menjatuhkan pidana penjara lebih berat terhadap Ahmad Jauhari, dari delapan tahun menjadi 10 tahun penjara

Irjen Djoko Susilo Terbukti Korupsi dan Cuci Uang

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri, Irjen Pol Djoko Susilo, terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tetapi, majelis hakim yang diketuai Suhartoyo hanya menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara terhadap Djoko Susilo kemarin.

Djoko dinyatakan terbukti merugikan keuangan negara senilai Rp 121 miliar dari proyek pengadaan alat simulator mengemudi kendaraan bermotor untuk ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri tahun 2011. Selain pidana penjara, majelis hakim juga menghukum terdakwa membayar denda Rp 500 juta yang bisa diganti dengan kurungan selama enam bulan.

Menurut majelis hakim, Djoko terbukti telah mengarahkan Teddy Rusmawan selaku ketua panitia pengadaan simulator mengemudi agar menunjuk Budi Susanto selaku Dirut PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) sebagai pelaksana pengadaan. Djoko juga dinyatakan terbukti memberikan persetujuan atau verifikasi atas pengajuan kredit modal kerja (KMK) oleh Budi Susanto ke Bank BNI sebesar Rp 101 miliar. Padahal, surat perintah kerja (SPK) proyek pengadaan simulator roda dua belum dikeluarkan oleh Korlantas Polri.

Djoko dianggap mengetahui mark-up (penggelembungan) harga yang dilakukan dalam proyek itu, sehingga negara rugi hingga Rp 121 miliar. Djoko juga dinyatakan menerima uang sebesar Rp 30 miliar plus Rp 2 miliar dalam kesempatan lain dari Dirut PT CMMA Budi Susanto. Itu diduga terkait dengan penunjukan PT CMMA sebagai pemenang lelang pengadaan simulator tahun 2011. Djoko tidak dibebani kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara dengan pertimbangan, harta ataupun asetnya telah dinyatakan dirampas untuk negara. Jika Djoko dibebani kewajiban membayar uang pengganti, itu akan dianggap tidak adil.

Majelis hakim menolak tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta majelis hakim menghilangkan hak Djoko untuk memilih dan dipilih serta hak politik. Majelis hakim menilai tuntutan itu berlebihan. Alasannya, pidana penjara selama 10 tahun terhadap Djoko dinilai cukup lama.
Selain tindak pidana korupsi, majelis hakim juga menyatakan Djoko terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Dia dinyatakan melakukan tindak pidana pencucian uang selama tahun 2010 sampai tahun 2012. Praktik itu berkaitan dengan tindak pidana korupsi proyek pengadaan simulator, terutama berkaitan dengan pemberian uang Rp 32 miliar dari Budi Susanto selaku rekanan.

Djoko juga dianggap terbukti melakukan pencucian uang terkait dengan harta yang dibeli atau diperoleh selama tahun 2003 sampai 2010 sebesar Rp 54,6 miliar dan 60 ribu dolar AS. Uang sebesar itu tidak sesuai dengan penghasilan terdakwa sebagai anggota Polri. "Setelah majelis lihat bukti, ternyata tidak cukup untuk dipertimbangkan karena terdakwa tidak dapat membuktikan kekayaan tersebut. Oleh karena itu, majelis berpendapat, harta kekayaan tersebut patut diduga dari tindak pidana korupsi," kata hakim anggota, Anwar, saat membacakan amar putusan.

Vonis untuk Djoko jauh lebih ringan dari tuntutan JPU berupa pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp 1 miliar yang bisa diganti dengan kurungan selama satu tahun. Jaksa juga menuntut Djoko membayar uang pengganti kerugian negara Rp 32 miliar dengan ketentuan dibayarkan satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak, hartanya disita dan jika tidak mencukupi, juga diganti dengan pidana penjara selama lima tahun.

Jika ditilik dari unsur aparat penegak hukum, vonis Djoko jauh lebih rendah dibanding tuntutan dan vonis terhadap jaksa Urip Tri Gunawan tahun 2008. JPU KPK menuntut majelis hakim yang diketuai Teguh Hariyanto menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun kepada Urip. Tetapi, Teguh yang memimpin majelis hakim menjatuhkan vonis pidana penjara selama 20 tahun kepada Urip yang hanya menerima suap dari Arthalyta Suryani untuk pengurusan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sementara itu, saat menjatuhkan vonis terhadap Djoko, majelis hakim mengungkapkan, aliran uang korupsi proyek simulator mengemudi ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri. Hakim anggota Mathius Samiadji yang membacakan amar putusan mengungkapkan, Dirut PT CMMA Budi Susanto pernah meminta Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang memberikan uang Rp 1 miliar kepada Itwasum Polri.

Namun, saat itu Sukotjo mengaku tidak punya uang tunai, sehingga meminta Budi menalanginya. Budi menyetujui dan uangnya diambil dari potongan harga barang. Hakim Samiadji juga membeberkan bahwa Budi meminta lagi Rp 1,5 miliar kepada Sukotjo--juga untuk Itwasum Polri.

"Uang itu untuk diberikan ke Itwasum dalam rangka memenangkan PT CMMA sebagai pelaksana proyek pengadaan simulator mengemudi roda empat tahun 2011," kata Samiadji. KPK menilai vonis untuk Djoko Susilo itu belum menjadi putusan monumental. "Kalau konstruksi hukumnya, oke. Tapi sanksinya belum mengakomodasi tuntutan jaksa penuntut umum," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Bambang menyebutkan, konstruksi hukum yang dibangun majelis hakim mengakomodasi konstruksi hukum KPK dan berdasarkan fakta di persidangan. "Putusan ini menarik karena rumusan dakwaan mengintegrasikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang," ujarnya. Dia juga mengatakan, undang-undang yang dipakai sebagai konstruksi hukum bukan hanya UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, melainkan UU No 15 Tahun 2002 juncto UU No 25 Tahun 2003 tentang TPPU. "Ini yang paling menarik. Ini bisa menjadi model putusan karena mengintegrasikan dua undang-undang, undang-undang yang sekarang dan undang-undang sebelumnya," kata Bambang.

Dia juga menghargai keputusan majelis hakim mengabulkan penyitaan seluruh kekayaan Djoko Susilo, kecuali rumah yang didapatkan Djoko sebelum UU No 15 Tahun 2002 berlaku dan dua mobil Toyota Avanza yang kepemilikannya jelas.

Sunday, November 20, 2016

Denny Indrayana

Denny Indrayana (lahir di Kotabaru, Kalimantan Selatan11 Desember 1972umur 43 tahunadalahseorang aktivis dan akademisi Indonesia yang sejak19 Oktober 2011 diangkat menjadi Wakil MenteriHukum dan Hak Asasi ManusiaDenny adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas GadjahMada. Dia juga merupakan salah satupendiri Indonesian Court Monitoring dan PusatKajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UniversitasGadjah MadaSebelum jadi wakil mentripadaSeptember 2008 Denny menjadi Staf KhususPresiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam bidangHukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi Kolusidan Nepotisme. Sebagai pakar hukum tata negarayang kritis masalah korupsi dan mafia hukumdiatelah menulis delapan buku terkait isu hukum tatanegara dan korupsiyaitu Amendemen UUD 1945, antara Mitos dan Pembongkaran, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002, Negara Antara Ada dan TiadaNegeri Para Mafioso, Indonesia OptimisCerita di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia, No Wamen No Cry, Jangan Bunuh KPK, dan Don't Kill KPKSaat inisejak Mei 2016 hingga akhirDesember 2017, Denny menjadi Guru Besar Tamupada Fakultas Hukum dan Fakultas Sospol di Universitas Melbourne, Australia.
Denny menyelesaikan studi sarjana hukumnya di UGM, sebelum melanjutkan program master dari Universitas MinnesottaASdan program doktordari Universitas MelbourneAustralia.[1]
Kasus 
Pada 24 Maret 2015Direktorat Tindak PidanaKorupsi Bareskrim Polri resmi menetapkan Denny Indrayana sebagai tersangka dalam kasus dugaankorupsi proyek payment gateway di KementerianHukum dan HAM.





Rimanews - Setahun sudah kasus korupsi payment gateway yang mendera bekas Wakil Menteri Hukum danHAM, Denny Indrayana tak kunjung dituntaskan DirektoratTindak Pidana Korupsi (DittipidkorBareskrimKejaksaanAgung menilai bahwa belum ada bukti kuat pegiatantikorupsi melakukan tindak pidana.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah mengatakan berkas tersebut sudahdikembalikan kepada BareskrimMenurutnyasampai saatini belum ada syarat materiil menyangkut mens rea (unsurkesalahan). 
"Syarat materiil menyangkut mens rea belum terpenuhiyaitu pertanggungjawaban pidananya," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Senin (4/04/2016).
Sementara kuasa hukum Denny Indrayana, Heru Widodo telah mengajukan lima ahli sebagai saksi meringankan"Kita sudah ajukan lima ahli ke penyidik Bareskrim terkaitprogram tersebut," ucapnya.
Seperti diketahui, Denny ditetapkan sebagai tersangkadugaan korupsi payment gateway atau pembuatan pasporelektronik di Direktorat Jenderal Kemenkumham pada 24 Maret 2015 lalu. Program untuk mempercepat proses buatpaspor dan mencegah praktik tersebut diduga telahmenyalahi aturanBahwa dalam sistem pembayaranmelalui dua vendor yaitu, PT Nusa Inti Artha dan PT Finnet Telkom.
Denny diduga mengabaikan risiko hukum lantaranmenunjuk dua vendor menampung Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Akibatnyanegara mengalamikerugian sebesar Rp32,4 miliarSampai saat iniBareskrim belum menetapkan tersangka lainnya.