Kasus Korupsi Burhanuddin
Abdullah
By : Wilona Anastasia / 10A
Mantan
Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, divonis lima tahun penjara subsider enam bulan kurungan
dalam persidangan yang berlangsung di pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, Rabu (29/10) siang. Dalam vonis majelis hakim ini, Burhanuddin juga
dikenai denda sebesar Rp 250 juta.
"Terdakwa Burhanuddin Abdullah telah terbukti secara sah dan meyakinkan
secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan pada
pasal tersebut. Oleh karenanya, hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 5
tahun dan denda Rp250 juta," ujar Ketua Majelis Hakim Gusrizal, sebelum
mengetuk palu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (29/10).
Namun,
Burhanuddin tidak diharuskan membayar uang pengganti. Sebab, tidak ditemukan
fakta hukum bahwa ia memperoleh bagian dari pengeluaran uang Rp100 miliar yang
disetujui pada Rapat Dewan Gubernur 3 Juni 2003. Menurut majelis hakim,
kerugian negara menjadi Rp96,6 miliar karena Rp3,4 miliar telah dikembalikan
oleh Rusli, Ali Arsyad, dan Amroe Al Muhtasin.
Hukuman ini
lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntutnya dengan hukuman 8 tahun
penjara dan denda Rp500 juta. Menurut majelis, hal yang meringankan hukumannya,
antara lain, ia tidak menikmati hasil korupsi tersebut. Namun, perbuatannya
telah mencoreng citra BI.
Majelis hakim
menilai Abdullah bersama para anggota Dewan Gubernur BI lain telah terbukti
bersalah karena menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan
Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat
BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI.
Perbuatan
terdakwa itu, menurut majelis, dilakukan secara bersama-sama dengan para Deputi
Gubernur Bank Indonesia, yakni Aulia Tantowi Pohan, Bun Bunan Hutapea, dan
Aslim Tadjuddin.
Majelis
menyebutkan Burhanuddin bersalah karena telah menyetujui pengambilan dana YPPI,
meski dia sendiri ragu dan tergantung dengan pendapat anggota dewan gubernur
lain. Menurut hakim, seharusnya Burhanuddin berani tidak menyetujui pengambilan
dana dari YPPI.
Selain itu,
seharusnya, Burhanuddin dapat menunda pembahasan tentang pengambilan dana YPPI
untuk bantuan hukum 5 mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI dan amandemen
UU BI. Sebab, menurut hakim, pada saat itu suasana batin Burhanuddin belum siap
karena masih belum genap dua minggu menjabat sebagai Gubernur BI. Burhanuddin
juga tidak menguasai masalah tersebut.
Gusrizal
mengatakan Burhanuddin juga dapat menolak pemberian uang kepada DPR untuk
penyelesaian kasus BLBI secara politis dan amandemen UU BI. Apalagi, lanjutnya,
BI saat itu sedang defisit dan tidak memiliki mata anggaran.
Burhanuddin
menyetujui keputusan mengambil dana YPPI senilai Rp100 miliar berawal dari
laporan Aulia Pohan kepadanya. Laporan itu menyebutkan adanya kebutuhan dana
diseminasi, bantuan hukum, dan penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia. Keputusan untuk menggunakan uang yayasan itu diambil dalam rapat
Dewan Gubernur pada 3 Juni 2003.
Dari jumlah
Rp100 miliar yang dicairkan, Rp68,5 miliar di antaranya digunakan untuk dana
bantuan hukum bagi lima mantan pejabat BI. yaitu Sudradjad Djiwandono, Paul
Sutopo, Hendro Budiyanto, Iwan R. Prawiranata dan Heru Supraptomo.
"Padahal bantuan hukum itu ada yang digunakan untuk membeli
properti," terang Gusrizal.
Sisanya, yakni
Rp 31,5 miliar, kemudian diberikan kepada Hamka Yandhu dan Antony Zeidra
Abidin, yang mewakili Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat.
Tujuan pemberian antara lain untuk membiayai diseminasi dalam proses amendemen
Undang-Undang Bank Indonesia.
Berikut
kronologi kasus korupsi Burhanuddin Abdullah :
14-11-2006 :
Ketua BPK Anwar Nasution yang juga mantan Deputi Senior Gubernur BI melaporkan
kasus aliran dana BI dari YPPI senilai Rp 100 miliar ke KPK.
Inti laporan itu adalah, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang juga dihadiri
Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pada 3 Juni 2003 memutuskan meminta YPPI
menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk dua keperluan.
Pertama, Rp 68,5 miliar untuk membantu proses hukum kasus Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan mantan dewan gubernur dan mantan direksi
BI, antara lain mantan Gubernur BI J. Soedradjad Djiwandono.
Kedua, Rp 31,5 miliar untuk anggota Komisi IX DPR periode 1999 – 2004 guna
pembahasan dan diseminasi sejumlah undang-undang tentang BI.
Hasil audit BPK menyebutkan dana untuk Komisi IX tersebut dicairkan melalui tujuh
cek.
September 2007 :
Hampir setahun setelah laporan BPK itu masuk, KPK lalu mengeluarkan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyelidikan (SPDP).
Selanjutnya, dimulailah pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat dan mantan
pejabat BI yang diduga mengetahui aliran dana itu.
25-1-2008 :
Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan
Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus tersebut.
Selanjutnya, mereka menjalani persidangan sebagai terdakwa di Pengadilan Khusus
Tindak Pidana Korupsi.
10-4-2008 :
KPK menetapkan Wakil Gubernur Jambi Antony Zeidra Abidin dan anggota DPR Hamka
Yandhu (keduanya mantan anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar)
sebagai tersangka.
Kini mereka sedang menjalani persidangan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana
Korupsi sebagai terdakwa.
29-10-2008 :
Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi memvonis Burhanuddin
Abdullah dengan 5 tahun penjara. Burhanuddin menilai vonis itu tidak adil, dan
pihaknya akan melakukan perlawanan hukum. Pada saat bersamaan, KPK mengumumkan
empat mantan Deputi Gubernur BI, yaitu Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim
Tadjuddin dan Maman Soemantri sebagai tersangka kasus yang sama.
12-11-2008 :
Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi memvonis Oey Hoey Tiong
dan Rusli Simanjuntak masing-masing dengan 4 tahun penjara.
No comments:
Post a Comment