Monday, November 14, 2016



   Kasus Korupsi Burhanuddin Abdullah
By : Wilona Anastasia / 10A      




Mantan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, divonis lima tahun penjara subsider enam bulan kurungan dalam persidangan yang berlangsung di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (29/10) siang. Dalam vonis majelis hakim ini, Burhanuddin juga dikenai denda sebesar Rp 250 juta.


"Terdakwa Burhanuddin Abdullah telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan pada pasal tersebut. Oleh karenanya, hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 5 tahun dan denda Rp250 juta," ujar Ketua Majelis Hakim Gusrizal, sebelum mengetuk palu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (29/10).


Namun, Burhanuddin tidak diharuskan membayar uang pengganti. Sebab, tidak ditemukan fakta hukum bahwa ia memperoleh bagian dari pengeluaran uang Rp100 miliar yang disetujui pada Rapat Dewan Gubernur 3 Juni 2003. Menurut majelis hakim, kerugian negara menjadi Rp96,6 miliar karena Rp3,4 miliar telah dikembalikan oleh Rusli, Ali Arsyad, dan Amroe Al Muhtasin.
Hukuman ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntutnya dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Menurut majelis, hal yang meringankan hukumannya, antara lain, ia tidak menikmati hasil korupsi tersebut. Namun, perbuatannya telah mencoreng citra BI.
Majelis hakim menilai Abdullah bersama para anggota Dewan Gubernur BI lain telah terbukti bersalah karena menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI.
Perbuatan terdakwa itu, menurut majelis, dilakukan secara bersama-sama dengan para Deputi Gubernur Bank Indonesia, yakni Aulia Tantowi Pohan, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.
Majelis menyebutkan Burhanuddin bersalah karena telah menyetujui pengambilan dana YPPI, meski dia sendiri ragu dan tergantung dengan pendapat anggota dewan gubernur lain. Menurut hakim, seharusnya Burhanuddin berani tidak menyetujui pengambilan dana dari YPPI.
Selain itu, seharusnya, Burhanuddin dapat menunda pembahasan tentang pengambilan dana YPPI untuk bantuan hukum 5 mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI dan amandemen UU BI. Sebab, menurut hakim, pada saat itu suasana batin Burhanuddin belum siap karena masih belum genap dua minggu menjabat sebagai Gubernur BI. Burhanuddin juga tidak menguasai masalah tersebut.
Gusrizal mengatakan Burhanuddin juga dapat menolak pemberian uang kepada DPR untuk penyelesaian kasus BLBI secara politis dan amandemen UU BI. Apalagi, lanjutnya, BI saat itu sedang defisit dan tidak memiliki mata anggaran.
Burhanuddin menyetujui keputusan mengambil dana YPPI senilai Rp100 miliar berawal dari laporan Aulia Pohan kepadanya. Laporan itu menyebutkan adanya kebutuhan dana diseminasi, bantuan hukum, dan penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Keputusan untuk menggunakan uang yayasan itu diambil dalam rapat Dewan Gubernur pada 3 Juni 2003.
Dari jumlah Rp100 miliar yang dicairkan, Rp68,5 miliar di antaranya digunakan untuk dana bantuan hukum bagi lima mantan pejabat BI. yaitu Sudradjad Djiwandono, Paul Sutopo, Hendro Budiyanto, Iwan R. Prawiranata dan Heru Supraptomo. "Padahal bantuan hukum itu ada yang digunakan untuk membeli properti," terang Gusrizal.
Sisanya, yakni Rp 31,5 miliar, kemudian diberikan kepada Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin, yang mewakili Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuan pemberian antara lain untuk membiayai diseminasi dalam proses amendemen Undang-Undang Bank Indonesia.

Berikut kronologi kasus korupsi Burhanuddin Abdullah :

14-11-2006 :

Ketua BPK Anwar Nasution yang juga mantan Deputi Senior Gubernur BI melaporkan kasus aliran dana BI dari YPPI senilai Rp 100 miliar ke KPK.

Inti laporan itu adalah, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang juga dihadiri Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pada 3 Juni 2003 memutuskan meminta YPPI menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk dua keperluan.

Pertama, Rp 68,5 miliar untuk membantu proses hukum kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan mantan dewan gubernur dan mantan direksi BI, antara lain mantan Gubernur BI J. Soedradjad Djiwandono.
Kedua, Rp 31,5 miliar untuk anggota Komisi IX DPR periode 1999 – 2004 guna pembahasan dan diseminasi sejumlah undang-undang tentang BI.
Hasil audit BPK menyebutkan dana untuk Komisi IX tersebut dicairkan melalui tujuh cek.

September 2007 :
Hampir setahun setelah laporan BPK itu masuk, KPK lalu mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyelidikan (SPDP).
Selanjutnya, dimulailah pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat dan mantan pejabat BI yang diduga mengetahui aliran dana itu.

25-1-2008 :
Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Selanjutnya, mereka menjalani persidangan sebagai terdakwa di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

10-4-2008 :
KPK menetapkan Wakil Gubernur Jambi Antony Zeidra Abidin dan anggota DPR Hamka Yandhu (keduanya mantan anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar) sebagai tersangka.
Kini mereka sedang menjalani persidangan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi sebagai terdakwa.

29-10-2008 :
Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi memvonis Burhanuddin Abdullah dengan 5 tahun penjara. Burhanuddin menilai vonis itu tidak adil, dan pihaknya akan melakukan perlawanan hukum. Pada saat bersamaan, KPK mengumumkan empat mantan Deputi Gubernur BI, yaitu Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin dan Maman Soemantri sebagai tersangka kasus yang sama.

12-11-2008 :
Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi memvonis Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak masing-masing dengan 4 tahun penjara.




No comments:

Post a Comment