Djoko dinyatakan terbukti merugikan keuangan negara senilai Rp 121 miliar dari proyek pengadaan alat simulator mengemudi kendaraan bermotor untuk ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri tahun 2011. Selain pidana penjara, majelis hakim juga menghukum terdakwa membayar denda Rp 500 juta yang bisa diganti dengan kurungan selama enam bulan.
Menurut majelis hakim, Djoko terbukti telah mengarahkan Teddy Rusmawan selaku ketua panitia pengadaan simulator mengemudi agar menunjuk Budi Susanto selaku Dirut PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) sebagai pelaksana pengadaan. Djoko juga dinyatakan terbukti memberikan persetujuan atau verifikasi atas pengajuan kredit modal kerja (KMK) oleh Budi Susanto ke Bank BNI sebesar Rp 101 miliar. Padahal, surat perintah kerja (SPK) proyek pengadaan simulator roda dua belum dikeluarkan oleh Korlantas Polri.
Djoko dianggap mengetahui mark-up (penggelembungan) harga yang dilakukan dalam proyek itu, sehingga negara rugi hingga Rp 121 miliar. Djoko juga dinyatakan menerima uang sebesar Rp 30 miliar plus Rp 2 miliar dalam kesempatan lain dari Dirut PT CMMA Budi Susanto. Itu diduga terkait dengan penunjukan PT CMMA sebagai pemenang lelang pengadaan simulator tahun 2011. Djoko tidak dibebani kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara dengan pertimbangan, harta ataupun asetnya telah dinyatakan dirampas untuk negara. Jika Djoko dibebani kewajiban membayar uang pengganti, itu akan dianggap tidak adil.
Majelis hakim menolak tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta majelis hakim menghilangkan hak Djoko untuk memilih dan dipilih serta hak politik. Majelis hakim menilai tuntutan itu berlebihan. Alasannya, pidana penjara selama 10 tahun terhadap Djoko dinilai cukup lama.
Selain tindak pidana korupsi, majelis hakim juga menyatakan Djoko terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Dia dinyatakan melakukan tindak pidana pencucian uang selama tahun 2010 sampai tahun 2012. Praktik itu berkaitan dengan tindak pidana korupsi proyek pengadaan simulator, terutama berkaitan dengan pemberian uang Rp 32 miliar dari Budi Susanto selaku rekanan.
Djoko juga dianggap terbukti melakukan pencucian uang terkait dengan harta yang dibeli atau diperoleh selama tahun 2003 sampai 2010 sebesar Rp 54,6 miliar dan 60 ribu dolar AS. Uang sebesar itu tidak sesuai dengan penghasilan terdakwa sebagai anggota Polri. "Setelah majelis lihat bukti, ternyata tidak cukup untuk dipertimbangkan karena terdakwa tidak dapat membuktikan kekayaan tersebut. Oleh karena itu, majelis berpendapat, harta kekayaan tersebut patut diduga dari tindak pidana korupsi," kata hakim anggota, Anwar, saat membacakan amar putusan.
Vonis untuk Djoko jauh lebih ringan dari tuntutan JPU berupa pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp 1 miliar yang bisa diganti dengan kurungan selama satu tahun. Jaksa juga menuntut Djoko membayar uang pengganti kerugian negara Rp 32 miliar dengan ketentuan dibayarkan satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak, hartanya disita dan jika tidak mencukupi, juga diganti dengan pidana penjara selama lima tahun.
Jika ditilik dari unsur aparat penegak hukum, vonis Djoko jauh lebih rendah dibanding tuntutan dan vonis terhadap jaksa Urip Tri Gunawan tahun 2008. JPU KPK menuntut majelis hakim yang diketuai Teguh Hariyanto menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun kepada Urip. Tetapi, Teguh yang memimpin majelis hakim menjatuhkan vonis pidana penjara selama 20 tahun kepada Urip yang hanya menerima suap dari Arthalyta Suryani untuk pengurusan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sementara itu, saat menjatuhkan vonis terhadap Djoko, majelis hakim mengungkapkan, aliran uang korupsi proyek simulator mengemudi ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri. Hakim anggota Mathius Samiadji yang membacakan amar putusan mengungkapkan, Dirut PT CMMA Budi Susanto pernah meminta Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang memberikan uang Rp 1 miliar kepada Itwasum Polri.
Namun, saat itu Sukotjo mengaku tidak punya uang tunai, sehingga meminta Budi menalanginya. Budi menyetujui dan uangnya diambil dari potongan harga barang. Hakim Samiadji juga membeberkan bahwa Budi meminta lagi Rp 1,5 miliar kepada Sukotjo--juga untuk Itwasum Polri.
"Uang itu untuk diberikan ke Itwasum dalam rangka memenangkan PT CMMA sebagai pelaksana proyek pengadaan simulator mengemudi roda empat tahun 2011," kata Samiadji. KPK menilai vonis untuk Djoko Susilo itu belum menjadi putusan monumental. "Kalau konstruksi hukumnya, oke. Tapi sanksinya belum mengakomodasi tuntutan jaksa penuntut umum," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Bambang menyebutkan, konstruksi hukum yang dibangun majelis hakim mengakomodasi konstruksi hukum KPK dan berdasarkan fakta di persidangan. "Putusan ini menarik karena rumusan dakwaan mengintegrasikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang," ujarnya. Dia juga mengatakan, undang-undang yang dipakai sebagai konstruksi hukum bukan hanya UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, melainkan UU No 15 Tahun 2002 juncto UU No 25 Tahun 2003 tentang TPPU. "Ini yang paling menarik. Ini bisa menjadi model putusan karena mengintegrasikan dua undang-undang, undang-undang yang sekarang dan undang-undang sebelumnya," kata Bambang.
Dia juga menghargai keputusan majelis hakim mengabulkan penyitaan seluruh kekayaan Djoko Susilo, kecuali rumah yang didapatkan Djoko sebelum UU No 15 Tahun 2002 berlaku dan dua mobil Toyota Avanza yang kepemilikannya jelas.
No comments:
Post a Comment